KEBUDAYAAN PENDUDUK PANTAI UTARA IRIAN JAYA

Sunday, December 23, 2007

KEBUDAYAAN PENDUDUK PANTAI UTARA IRIAN JAYA

ringkasan dari buku Koentjoroningrat

1. Identifikasi

Kebudayaan penduduk Irian Jaya tidak merupakan suatu kesatuan, tapi beraneka ragam. Pada umumnya dapat dibedakan dari penduduk cendrawasih, penduduk rawa-rawa di daerah pantai utara, penduduk pegunungan Jaya Wijaya, penduduk di sungai dan rawa di bagian selatan dan penduduk daerah sabana di bagian selatan. Dan ada pula berbagai daerah kebudayaan yang berbeda di Papua Nugini.

Ada bahasa Irian Jaya yang termasuk keluarga bahasa Melanesia, disamping itu ada juga bahasa Irian. Keluarga bahasa-bahasa Irian tersebut dapat dibagi menjadi beberapa keluarga khusus dan yang satu dengan yang lain tak ada sangkut pautnya. Terutama Irian Jaya bagian Teluk Cendrawasih dan daerah pantai utara. Di daerah tersebut ada bahasa yang hanya diucapkan 100 orang bahkan ada bahasa yang lebih kecil lagi.

Gejala aneka warna extrem dari kebudayaan di Irian itu dapat dikembalikan jauh ke dalam zaman Prehiston, bangsa yang asal dari daerah yang satu dengan yang lain berbeda, datang dan menduduki pulau untuk tetap tinggal terpisah satu dengan yang lain karena isolasi geografis. Karena itu orang Mimika, orang Asmat atau orang Marindanim, pada dasarnya amat berbeda dengan orang Mori atau orang Dani di Pegunungan Jaya Wijaya, atau dengan orang Biak atau dengan orang Waropen di Teluk Cendrawasih dan amat berbeda pula dengan orang Tor atau orang Bgu di daerah pantai utara.

Sebagian dari penduduk desa-desa pantai tersebut mula-mula berasal dari daerah –daerah pegunungan di pedalaman. Banyak di mereka telah turun ke pantai sejak lebih dari 3 perempat abad yang lalu. Gerak migrasi penduduk ke arah hilir sungai-sungai yang sampai sekarang masih berlangsung terus menerus. Adapun arah perpindahan seperti orang Mander, Bonerif, Biyu, Daranto, Segeir, Bora-bora, Waf dan lain lain memang mengikuti arah aliran sungai.

2. Angka-angka dan Fakta-fakta Demografis

Diantara ke-24 desa tempat tinggal penduduk pantai utara tersebut ada pula desa yang jumlah penduduknya 40 orang . teapi ada pula yang jumlah penduduknya 300 orang. Seluruh jumlah penduduknya adalah 4553 orang, dan bila dibandingkan jumlah penduduk sebelum PD II bahwa penduduk jumlahnya justru berkurang.

3. Bentuk Desa dan Pola Perkampungan

Rumah di desa Daerah Pantai Utara merupakan suatu bangunan persegi panjang. Di atas tiang-tiang dengan tinggi keseluruhan adalah 4,50 meter, dengan didalamnya satu-dua ruangan lain untuk tempat tidur. Rangka rumah dibuat dari balok-balok dengan tali rotan; dinding-dinding terbuat / terdiri dari tangkai-tangkai kering lurus panjang dari daun sagu yang disusun sejajar rapi dan diikat dengan tali rotan juga, dinding tersebut dengan nama Ambon-nya dinding gaba-gaba. Lantai terdiri dari srip-strip panjang dari kulit pohon bakau, yang disusun rapi dan bercelah hampir 1 meter yang bisa menjobloskan kaki. Penempatan rumah baru menurut adat istiadat Pantai Utara pada umumnya memerlukan pesta besar, bernama nuanyadedk dengan adanya penukaran pemberian antara kerabat isteri si penghuni dengan kerabatnya sendiri yang menjadi tamu pada upacara tersebut.

4. Mata Pencaharian Hidup

Mata pencaharian hidup orang Bgu adalah meramu sagu (pom). Dahulu rupanya ada kelompok kekerabatan unilineral yang menduduki suatu wilayah tertentu yang mempunayi konsep yang tegas mengenai batas-batas hutan sgunya, tapi lambat laun kedepan orang-orang melupakan batas-batas tersebut. Yang menjadi pegangan orang ialah hutan dimana ayahnya biasa mengambil sagu. Pohon setelah tumbang dikuliti dan terasnya yang penuh sagu dipikul dengan sebuah alat dalam bahasa Bgu disebut dengan Tongkiya. Tepung sagu basah yang telah dicuci diremas dengan alat peremas (kaemrun) yang dibuat dari pohon sagu. Dan sagu tersebut dimasukkan dalam karung-karung (saipin) atau dalam wadah (bae) yang dibuat dari daun nibung.

Sagu biasanya dimakan sebagai bubur (as) atau roti bakar (kaus) dengan lauk pauk dagin, ikan, kadang-kadang sayur mayur. Di daerah pedalamn di Tor, pekerjaan mencari sagu adalah pekerjaan wanita dan tidak pantas orang laki-laki turut campur dalam urusan sagu.

Pada penduduk Pantai Utara, mencari ikan merupakan mata pencaharian yang sama pentingnya dengan mencari sagu. Dalam aktivitasnya mencari binatang kerang, udang, kepiting, binatang pantai, kura-kura, dan sebagainya , semuanya dimakan sebagai lauk pauk pada bubur atau roti bakar. Teknik menangkap ikan dengan tombak, jala buatan sendiri, dengan perangkap ikan atau meracun air pada orang Mentawai itu sangat lazim.

Berburu adalah juga mata pencaharian yang penting, tetapi yang eksklusif dilakukan oleh orang laki-laki. Binatang yang diburu terutama babi, tapi kadang soa-soa, kanguru, sampai binatang kecil seperti tikus, kadal, ular, kelelawar, burung kasuari, dan lain-lain.

Berkebun juga suatu mata pencaharian bagi mereka tapi sifatnya sebagai sambilan.

Produksi di Pantai Utara Irian Jaya dimuali hampir ½ abad yang lalu, waktu penduduk pulau masih dipaksa untuk bekerja bakti dalam tahun 1920 oleh Belanda. Produksi kopra dikerjakan dengan sangat sederhana. Orang hanya menunggu kelapa jatuh, dibelah dan lalu diambil isinya di tempat. Sesudah tahun 1962, produksi kopra sudah amat mundur dan masalah terbesarnya adalah transport yang efektif.

5. Sistem Kekerabatan

Suatu rumah didiami oleh keluarga-batih. Ayah, ibu, menantu, cucu, atau saudara perempuan isteri dengan suaminya. Seorang kepala keluarga batih tercatat dalam buku gereja yang juga merupakan register desa dengan nama Kristen.

Kalau mereka hendak menikah ada syarat yang penting yaitu mengumpulkan mas kawin atau krae. Yang terdiri dari rangkaian kerang dengan hiasan kerang bundar disebut sebkos (bulan) sebuah kalung dari bitem, tali kulit kayu yang disebut weimoki. Adapun benda toko antara lain piring, perabot dapur bahan makanan kaleng. Selain benda-benda tersebut suatu krae jugaditambah dengan uang.

6. Hidup Berkomunikasi dan Pimpinan desa

Desa di Pnatai Utara Irian Jaya menunjukkan suatu kehidupan berkomuniti yang lesu dan sifat apatis yang menyedihkan. Penyakit kronis yang menghinggapi kehidupan komuniti di desa pantai di distrik pantai utara adalah penyakit tak ada kepemimpinan. Dan sebabnya adalah tak ada tenaga pemimpin, gejala migrasi, dan karena tak adanya upacara yang memelihar kesatuan dan rasa identitas diri komuniti sejak 1920.

Kemudian pemerintah Belanda mengangkat ondowafi sebagai pejabat resmi dan korano. Ondowfi ialah orng yang ahli dalam adat istiadat. Korano ialah orang yang tugasnya membantu pemerintahan yang melek huruf dan mempunyai hubungan dengan orang luar. Menurut analisa ahli antropologi bernama M. Mead masyarakat Irian adalah suku bangsa Arapesh yang mempunyai sifat berjiwa individualis.

Karena pada dasarnya aktivitas-aktivitas mereka tidak membutuhkan gotong royong, hampir dalam segala hal dilakukan dalam batas kekeluargaan tertentu. Pada umumnya adat gift exchange itu merupakan rasa bersaing dan wajib balas bukan rasa menolong atau rela memberi.

7. Religi

Walau secara resmi penduduk Pantai Utara beragama Kristen, namun dunia gaib dan akhirat masih banyak dari religi yang asli. Dalam kehidupan masyarakat penduduk desa-desa pantai utara tidak ada upacara keagamaan besar-besaran yang makan banyak biaya, tenaga, dan yang mengembangjan secara luas hubungan antara kelompok satu-satunya upacara keagamaan adalah upacara ibadah yang dilakukan penduduk dalam gereja, tiap hari Minggu dan tiap hari besar Nasrani. Dalam hal menengobservasi pengunjung gereja yang tiap-tiap hari Minggu sering berganti orangnya. Orang mendengarkan khotbah, ikut menyanyi, ikut doa, tetapi semuanya dilakukan seolah-olah seperti pekerjaan rutin dengan perasaan yang kosong.

8. Masalah Pembangunan dan Modernisasi

Pembangunan dan modernisasi di daerah Pantai Utara Irian Jaya dapat dimulai dari usaha memperbaiki sektor produksi kopra rakyat. Untuk hal itu rupanya ada beberapa rintangan mental:

1. sifat individualisme sangat besar

2. sifat tak berdisiplin daripada warga masyarakat yang amat menyolok

3. kebiasaan menentang pergantian dan pergolakan zaman

4. taraf pendidikan yang terlampau amat rendah (fikreatif)

1 Comment:

Anonymous said...

thx, berguna banget

 
ES-TE-EM-JE - Wordpress Themes is powered by WordPress. Theme designed by Web Hosting Geeks and Top WordPress Themes.
por Templates Novo Blogger