Memahami Sejarah Hijriah

Friday, January 18, 2008

Memahami Sejarah Hijriah
Said Aqiel Siradj
Ketua PBNU

Sebelum kedatangan agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, masyarakat Arab memakai kalender lunisolar, yaitu kalender lunar yang disesuaikan dengan matahari. Tahun baru (Ra's as-Sanah = "Kepala Tahun") selalu berlangsung setelah berakhirnya musim panas sekitar September.
Bulan pertama dinamai Muharram, sebab pada bulan itu semua suku atau kabilah di Semenanjung Arabia sepakat untuk mengharamkan peperangan. Pada bulan Oktober, daun-daun menguning sehingga bulan itu dinamai Shafar ("kuning"). Bulan November dan Desember pada musim gugur (rabi`) berturut-turut dinamai Rabi`ul-Awwal dan Rabi`ul-Akhir. Januari dan Februari adalah musim dingin (jumad atau "beku"), sehingga dinamai Jumadil-Awwal dan Jumadil-Akhir. Kemudian salju mencair (Rajab) pada bulan Maret.
Bulan April di musim semi merupakan bulan Sya'ban (syi'b = lembah), saat turun ke lembah-lembah untuk mengolah lahan pertanian atau menggembala ternak. Pada bulan Mei, suhu mulai membakar kulit, lalu suhu meningkat pada bulan Juni. Itulah bulan Ramadhan ("pembakaran") dan Syawwal ("peningkatan").
Bulan Juli merupakan puncak musim panas yang membuat orang lebih senang istirahat duduk di rumah daripada bepergian, sehingga bulan ini dinamai Dzul-Qa`dah (qa`id = duduk). Akhirnya, Agustus dinamai Dzul-Hijjah, sebab pada bulan itu masyarakat Arab menunaikan ibadah haji ajaran nenek moyang mereka, Nabi Ibrahim AS.
Setiap bulan diawali saat munculnya hilal, berselang-seling 30 atau 29 hari, sehingga 354 hari setahun, 11 hari lebih cepat dari kalender solar yang setahunnya 365 hari. Agar kembali sesuai dengan perjalanan matahari dan agar tahun baru selalu jatuh pada awal musim gugur, maka dalam setiap periode 19 tahun ada tujuh buah tahun yang jumlah bulannya 13 (satu tahunnya 384 hari). Bulan interkalasi atau bulan ekstra ini disebut nasi' yang ditambahkan pada akhir tahun sesudah Dzul-Hijjah.
Ternyata, tidak semua kabilah di Semenanjung Arabia sepakat mengenai tahun-tahun mana saja yang mempunyai bulan nasi'. Masing-masing kabilah seenaknya menentukan bahwa tahun yang satu 13 bulan dan tahun yang lain cuma 12 bulan. Lebih celaka lagi, jika suatu kaum memerangi kaum lainnya pada bulan Muharram (bulan terlarang untuk berperang) dengan alasan perang itu masih dalam bulan nasi', belum masuk Muharram, menurut kalender mereka. Akibatnya, masalah bulan interkalasi ini banyak menimbulkan permusuhan di kalangan masyarakat Arab.
Setelah masyarakat Arab memeluk agama Islam dan bersatu di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW, maka turunlah perintah Allah SWT agar umat Islam memakai kalender lunar yang murni dengan menghilangkan bulan nasi'. Hal ini, tercantum dalam kitab suci Alquran Surat Attaubah ayat 36 dan 37. Dengan turunnya wahyu Allah di atas, Nabi Muhammad SAW mengeluarkan dekrit bahwa kalender Islam tidak lagi bergantung kepada perjalanan matahari.
Meskipun nama-nama bulan dari Muharam sampai Dzul-Hijjah tetap digunakan karena sudah populer pemakaiannya, bulan-bulan tersebut bergeser setiap tahun dari musim ke musim, sehingga Ramadhan ("pembakaran") tidak selalu pada musim panas dan Jumadil-Awwal ("beku pertama") tidak selalu pada musim dingin.
Mengapa harus kalender lunar murni? Hal ini, disebabkan agama Islam bukanlah hanya untuk masyarakat Arab di Timur Tengah saja, melainkan untuk seluruh umat manusia di berbagai penjuru bumi yang letak geografis dan musimnya berbeda-beda. Sangatlah tidak adil, jika misalnya Ramadhan (bulan menunaikan ibadah puasa) ditetapkan menurut sistem kalender solar atau lunisolar, sebab hal ini mengakibatkan masyarakat Islam di suatu kawasan berpuasa selalu di musim panas atau selalu di musim dingin.
Sebaliknya, dengan memakai kalender lunar yang murni, masyarakat Kazakhstan atau umat Islam di London berpuasa 18 jam di musim panas, tetapi berbuka puasa pukul empat sore di musim dingin. Umat Islam yang menunaikan ibadah haji pada suatu saat merasakan teriknya matahari Arafah di musim panas, dan pada saat yang lain merasakan sejuknya udara Makkah di musim dingin.
Pada masa Nabi Muhammad SAW, penyebutan tahun berdasarkan suatu peristiwa yang dianggap penting pada tahun tersebut. Misalnya, Nabi Muhammad saw lahir tanggal 12 Rabi`ul-Awwal Tahun Gajah ('Am al-Fil), sebab pada tahun tersebut pasukan bergajah, raja Abrahah dari Yaman berniat menyerang Ka'bah.
Ketika Nabi Muhammad saw wafat tahun 632, kekuasaan Islam baru meliputi Semenanjung Arabia. Tetapi, pada masa Khalifah Umar ibn Khattab (634-644) kekuasaan Islam meluas dari Mesir sampai Persia. Pada tahun 638, Gubernur Irak Abu Musa al-Asy`ari berkirim surat kepada Khalifah Umar di Madinah, yang isinya antara lain: "Surat-surat kita memiliki tanggal dan bulan, tetapi tidak berangka tahun. Sudah saatnya umat Islam membuat tarikh sendiri dalam perhitungan tahun."
Khalifah Umar ibn Khattab menyetujui usul gubernurnya ini. Terbentuklah panitia yang diketuai Khalifah Umar sendiri dengan anggota enam Sahabat Nabi terkemuka, yaitu Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Talib, Abdurrahman ibn Auf, Sa`ad ibn Abi Waqqas, Talhah ibn Ubaidillah, dan Zubair ibn Awwam. Mereka bermusyawarah untuk menentukan Tahun Satu dari kalender yang selama ini digunakan tanpa angka tahun. Ada yang mengusulkan perhitungan dari tahun kelahiran Nabi ('Am al-Fil, 571 M), dan ada pula yang mengusulkan tahun turunnya wahyu Allah yang pertama ('Am al-Bi'tsah, 610 M). Tetapi, akhirnya yang disepakati panitia adalah usul dari Ali ibn Abi Talib, yaitu tahun berhijrahnya kaum Muslimin dari Makkah ke Madinah ('Am al-Hijrah, 622 M).
Ali ibn Abi Talib mengemukakan tiga argumentasi. Pertama, dalam Alquran sangat banyak penghargaan Allah bagi orang-orang yang berhijrah (al-ladzina hajaru). Kedua, masyarakat Islam yang berdaulat dan mandiri baru terwujud setelah hijrah ke Madinah. Ketiga, umat Islam sepanjang zaman diharapkan selalu memiliki semangat hijriyah, yaitu jiwa dinamis yang tidak terpaku pada suatu keadaan dan ingin berhijrah kepada kondisi yang lebih baik.
Maka, Khalifah Umar ibn Khattab mengeluarkan keputusan bahwa tahun hijrah Nabi adalah Tahun Satu, dan sejak saat itu kalender umat Islam disebut Tarikh Hijriyah. Tanggal 1 Muharram 1 Hijriyah bertepatan dengan 16 Tammuz 622 Rumi (16 Juli 622 Masehi). Tahun keluarnya keputusan Khalifah itu (638 M) langsung ditetapkan sebagai tahun 17 Hijriyah. Dokumen tertulis bertarikh Hijriyah yang paling awal (mencantumkan Sanah 17 = Tahun 17) adalah Maklumat Keamanan dan Kebebasan Beragama dari Khalifah Umar ibn Khattab kepada seluruh penduduk Kota Aelia (Yerusalem) yang baru saja dibebaskan laskar Islam dari penjajahan Romawi.
Kalender Hijriyah setiap tahun 11 hari lebih cepat dari kalender Masehi, sehingga selisih angka tahun dari kedua kalender ini lambat laun makin mengecil. Angka tahun Hijriyah pelan-pelan 'mengejar' angka tahun Masehi, dan menurut rumus di atas keduanya akan bertemu pada tahun 20526 Masehi yang bertepatan dengan tahun 20526 Hijriyah. Saat itu, kita entah sudah berada di mana. "Demi waktu. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian." Begitulah, pesan Alquran dalam surah Al-'Ashr.
Ikhtisar
-Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab memakai kalender lunisolar yang berpatokan pada matahari.
-Pada kalender tersebut, setiap 19 tahun terdapat tujuh tahun yang mendapat tambahan bulan untuk menyesuaikan awal tahun dengan musim gugur.
-Penetapan penambahan bulan kerap memicu pertikaian di antara para suku.
-Turun perintah Allah untuk menggunakan kalender lunar murni.
-Kalender lunar murni memberikan keadilan bagi seluruh warga bumi, misalnya dalam hal beban puasa.
-Khalifah Umar ibn Khattab memutuskan peristiwa hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah sebagai tahun 1 yang diusulkan Ali ibn Abi Thalib.
Republioka, Rabu, 09 Januari 2008

Taufik Kiemas: ’Islam Politik, Berbahaya’

Taufik Kiemas: ’Islam Politik, Berbahaya’

SELASA, 11/9/07, saya menghadiri ceramah Taufik Kiemas, suami mantan Presiden Megawati, dalam acara seminar yang diadakan RSIS (Rajaratman School of International Studies) tempat saya kuliah. Seminar merupakan bagian dari mata kuliah yang wajib saya ikuti.

Taufik Kiemas datang atas undangan Indonesian Center RSIS yang dipimpin oleh Prof. Dr. Leonard Sebastian (Indonesianis Singapura). Tampak hadir menyertai Taufik para petinggi PDIP, di antaranya Pramono Anung, Sutradara Ginting, Puan Maharani dan beberapa yang tidak saya kenal.

Dalam kesempatan itu Taufik memaparkan dua hal pokok. Pertama, soal perkembangan PDIP dan persiapan menghadapi Pemilu 2009. Kedua soal terorisme dan sektarianisme di Indonesia. Pada poin pertama Taufik, dengan bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh seorang translator, memaparkan tentang cita-cita PDIP untuk membangun Indonesia sebagai rumah besar nasionalisme yang bertujuan mempertahankan Pancasila, NKRI dan mewujudkan pluralisme. “Mustahil nasionalisme tanpa pluraslisme,” tukas Taufik.

Untuk mewujudkan rumah besar itu, PDIP harus bekerjasama dengan pihak eksternal. Dalam hal ini ia menyebut Golkar untuk dalam negeri dan Amerika Serikat yang dianggap memiliki kemampuan campur tangan terhadap negara lain. “Saya tidak butuh orang-orang golkar. Yang saya butuhkan adalah Partai Golkar yang berhaluan pluralis,” ujar Taufik.

Sikap itu juga disampaikan saat Taufik dan kawan-kawan berkunjung ke Amerika Serikat (AS). Menurut Taufik, saat di AS ia menegaskan kembali tentang sikap PDIP sebagai partai oposisi di Indonesia dan sebagai partai nasionalisme yang menjunjung tinggi pluralisme.

Saat membahas bagian kedua dari ceramahnya tentang pluralisme dan terorisme di Indonesia, ia menyebutkan bahwa nasionalisme/pluralisme di Indonesia sedang menghadapi apa yang ia sebut sektarianisme. Sektarianisme inilah yang menjadi kelompok teroris. Persoalannya, menurut Taufik, bila kelompok teroris membentuk kelompok tersendiri akan lebih mudah untuk menumpasnya, tapi kini kelompok teroris itu telah masuk ke dalam partai politik sehingga lebih sulit dideteksi. Dan tanpa tedeng aling ia menyebut PKS.

Lebih lanjut ia menjelaskan, karena itulah mengapa kelompok nasionalis yang memperjuangan pluralisme di Indonesia bersatu melawan PKS dalam Pilkada di DKI Jakarta. Karena hanya dengan bersatu padu itulah mereka dapat mengalahkan PKS di sejumlah daerah. “Tampaknya melihat kaum pluralis bersatu mereka takut juga,” tandas Taufik.

Ia juga sempat menyitir pidato Pak Hidayat Nur Wahid, yang saya tidak tahu dimana, bahwa Pak Dayat berbicara tentang nasionalisme dan pluralisme, seolah-olah ia lebih nasionalis dari orang nasionalis sendiri.

Terus terang, mendengar paparan Taufik itu dada saya langsung bergemuruh. Tadinya tidak ada niat saya untuk bertanya. Saya datang hanya untuk menggugurkan kewajiban kuliah saja. Dan kita juga sama-sama tahulah kualitas Taufik, jadi saya pikir tak ada sesuatu yang bisa diambil. Di samping, kedatangan saya juga untuk menjaga hubungan baik saya dengan Andi Widjajanto (anak Theo Syafei yang sedang mengambil Phd. Di Singapura) teman sekelas saya di satu mata kuliah. Saya juga tahu Andi kini menjadi salah satu advicer penting di PDIP terkait persoalan militer.

Pada saat masuk sesi tanya jawab, reflek saya angkat tangan. Saya katakan, sebelum masuk ke pertanyaan saya ingin menanggapi dulu apa yang disampaikan Taufik tentang PKS. Saya perlu meluruskan masalah ini ke audience karena yang hadir adalah para mahasiswa RSIS dari berbagai negara. Apa jadinya jika mereka beranggapan bahwa setiap muslim harus dicurigai sebagai teroris sebagaimana yang disampaikan Taufik. Lebih berbahaya kalau mereka beranggapan PKS adalah supporter teroris di Indonesia.

Dengan sedikit emosi saya katakan, PKS adalah a small party in Indoensia, only 7 percent. PKS dibentuk oleh para generasi muda Indonesia yang mecoba mencari solusi terhadap berbagai persoalan di Indonesia. Mereka bercita-cita ingin membangun apa yang mereka sebut “The New Indoensia”/ Indonesia Baru. Dan perlu dicatat, mereka adalah lulusan universitas secular di Indonesia, seperti UI, UGM, ITB dan IPB.

Lalu saya jelaskan, tampaknya cita-cita mereka ini ditangkap oleh sebagain masyarakat Indonesia berpendidikan dan menginginkan perubahan. Karena itu terbukti, PKS unggul di Jakarta. Di sini saya memberi penekanan: “Jakarta adalah tolok ukur politik di Indonesia. Jika Anda ingin mengatahui the real politics in Indonesia dan proses demokratisasi di Indonesia, look at Jakarta!” Sebab jika Anda melihat Indonesia secara keseluruhan, maka sesungguhnya sebagian besar masyarakat Indonesia berpendidikan rendah yang mudah dibohongi oleh para elit partai.

Setelah itu barulah saya masuk ke pertanyaan sederhana: Apa konsep PDIP untuk membangun Indonesia. Pertanyaan itu tak dijawab secara baik oleh Taufik, karena mungkin ia keburu kaget ada orang PKS terselip di antara hadirin. Setelah tahu saya orang PKS pernyataannya menjadi melunak, ia katakan syukurlah kalo ternyata PKS sudah berubah.

Alhamdulillah, tampaknya hadirin mendapatkan informasi lain tentang PKS, hal itu terlihat dari pertanyaan2 yang terlontar, baik dari orang Indonesia sendiri, Singaporean, Malaysian, semua tampak bernada positif terhadap PKS. Beberapa kawan dari Indonesia dan beberapa negara menghampiri saya mengomentari penjelasan singkat saya itu.

Menurut saya, ceramah Taufik Kiemas di RSIS itu tak boleh dianggap angin lalu. Boleh jadi inilah gambaran sikap PDIP sendiri dan sikap partai-partai lain secara umum terhadap PKS. Sikap ini tampaknya akan melatari kebijakan partai untuk menghadapi Pemilu 2009. Isu terorisme, sektarianisme adalah isu usang namun efektif untuk menjatuhkan citra partai Islam. Sebagaimana tudingan militer secular Turki yang menuding Justice Party di Turki memiliki hidden agenda islamisme.

Wallahu a’lam

SUHUD ALYNUDIN

50 Nanyang Crescent Graduate Hall #03-18 Singapore 637598

Sumber: Risalah Mujahidin, Edisi 14 th II Dzulqa’dah 1428 H / November 2007

 
ES-TE-EM-JE - Wordpress Themes is powered by WordPress. Theme designed by Web Hosting Geeks and Top WordPress Themes.
por Templates Novo Blogger