Takhayul Politik Tentang Konsensus Nasional

Sunday, December 30, 2007

Takhayul Politik Tentang Konsensus Nasional
Oleh DR. Aidul Fitriciada Azhari, S.H.
(Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Adnan Buyung Nasution dalam disertasinya tentang Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia (1995) menyebutkan bahwa pandangan yang menyatakan kegagalan Konstituante disebabkan oleh demokrasi liberal pada era 1950-an adalah mitos politik atau takhayul politik yang dibuat oleh presiden Soekarno untuk melanggengkan kekuasaan otoriternya. Mitos atau takhayul politik seperti itu bukan satu-satunya yang dibuat untuk menopang kelanggengan pemerintahan dzalim di Indonesia. Selain itu, ada takhayul tentang UUD 1945, Pancasila sebagai pandangan hidup dan kepribadian bangsa, kesaktian Pancasila hingga takhayul tentang pembangunan nasional. Semua itu belakangan terbukti cuma isapan jempol belaka karena terbukti UUD 1945 sudah diubah-ubah sebanyak empat kali. Demikian juga dengan Pancasila yang dalam ketetapan MPR No. V/MPR/2000 dikembalikan sebagai dasar negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 karena Pancasila sebagai ideologi negara telah ditafsirkan secara sepihak oleh penguasa dan telah disalahgunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Jadi, Pancasila bukan lagi sebagai pandangan hidup dan kepribadian bangsa dan tidak boleh ditafsirkan lain kecuali sebagai dasar negara.

Takhayul konsensus Nasional
Takhayul politik seperti itulah yang pada tanggal 16 Desember 2007 dikemukakan oleh Presiden SBY dalam pidatonya di depan Rapat Paripurna DPR RI. Dalam pidatonya, Presiden SBY menyebutkan perlunya bangsa Indonesia untuk mempertahankan konsensus nasional, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Bila ditelusuri, istilah “konsensus nasional” adalah retorika politik yang digunakan oleh para pendukung Pancasila sebagai dasar negara dalam perdebatan-perdebatan konstituante. Istilah itu kemudian dimanfaatkan oleh Orde Baru sebagai bagian dari materi indoktrinasi politik dalam penataran-penataran Pedoman Pelaksanaan dan Penghayatan Pancasila (P-4).Istilah konsensus nasional diajukan untuk mematahkan argumentasi kekuatan politik Islam yang mengusulkan Islam sebagai dasar negara. Menurut para pendukungnya, Pancasila yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 telah menjadi “perjanjian luhur” atau “konsensus nasional” di antara bangsa Indonesia yang bersifat abadi dan tidak boleh diubah karena bila diubah akan mengubah negara Indonesia.

Pandangan tentang konsensus nasional seperti itu jelas hanya takhayul karena, pertama, jika pun Pancasila dan UUD 1945 disebut “konsensus nasional” maka konsensus itu hanya bersifat sementara karena sesuai dengan Aturan Tambahan disebutkan bahwa dalam enam bulan sesudah berakhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden harus membentuk MPR yang dalam enam bulan berikutnya akan bersidang untuk menetapkan UUD.Jadi, konsensus tentang Pancasila dan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 seharusnya diubah satu tahun kemudian pada 1946. Tetapi, sebagaimana kita tahu dalam satu tahun itu Presiden Soekarno tidak berhasil membentuk MPR. Sebaliknya UUD 1945 diubah oleh KNIP yang dikuasai kaum sosialis sehingga sistem pemerintahannya berubah menjadi sistem parlementer. Presiden Soekarno baru membentuk MPRS pada tahun 1960 setelah memberlakukan kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, tetapi MPRS tersebut tidak pernah menetapkan UUD 1945. Konsensus yang bersifat sementara itu pula yang dijanjikan kepada umat Islam ketika terjadi perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 menjadi rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana tertulis dalam Pembukaan UUD 1945. padahal sebelumnya, Piagam Jakarta disebut oleh BPUPKI sendiri sebagai antara golongan Islam dan nasionalis. Dengan demikian, jelas Pancasila dan UUD 1945 pada mulanya tidak dimaksudkan sebagai konsensus nasional yang bersifat abadi melainkan hanya bentuk kompromi politik yang ditempuh di tengah dinamika revolusi pada waktu itu. Karena itu, keyakinan akan adanya konsensus nasional sejak berdirinya negara Indonesia hanya takhayul politik belaka karena sejak awal tidak ada maksud untuk membuat konsensus nasional sebagai dasar dari keberadaan negara dan bangsa Indonesia. secara historis konsensus tentang Pancasila dan UUD 1945 hanya melibatkan dua kekuatan politik utama yang bersikap akomodatif terhadap pemerintahan pendudukan Jepang, yakni kekuatan politik Islam dan nasionalis. Karena itu, kedua kekuatan itulah yang terlibat dalam perumusan UUD 1945 di BPUPKI yang dibentuk oleh pemerintahan pendudukan Jepang.Sementara itu, kekuatan sosialis dan komunis yang secara ideologis menjadi musuh fasisme Jepang tidak dilibatkan karena bergerak di bawah tanah. Kelompok sosialis-komunis yang dipimpin oleh Sutan Syahrir dan Amir Syarifuddin inilah yang kemudian mengubah UUD 1945 pada tanggal 14 Nopember 1945 dengan menggeser kedudukan Presiden Soekarno dan ketua KNIP Kasman Singodimejo dan akhirnya membentuk pemerintahan parlementer yang dipimpin sendiri oleh Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri.Ketidakterlibatan kelompok sosialis inilah yang mendorong mereka pada tahun 1999 untuk mengusulkan perubahan UUD 1945 secara total karena dianggap bentukan fasisme Jepang. Usul ini ditolak keras oleh kaum nasionalis yang akhirnya melahirkan kompromi dalam bentuk perubahan UUD 1945.Dengan demikian, keyakinan akan adanya konsensus nasional hanya merupoakan takhayul belaka karena tidak tidak mencerminkan sifat “kenasionalan” yang melibatkan seluruh Indonesia. secara politik, konsensus nasional itu terus berubah dari waktu ke waktu. Faktanya, UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan hingga sekarang, bahkan menyangkut hal yang sangat fundamental. Pancasila juga mengalami penyusutan fungsi hanya sebagai dasar negara. Kemudian NKRI saat ini dilaksanakan dengan aransemen federal dalam bentuk otonomi daerah yang seluas-luasnya dengan kewenangan pusat yang terbatas (pasal 18 UUD 1945). Perubahan-perubahan tersebu terbukti tidak menyebabkan kehancuran negara dan bangsa Indonesia sebagaimana dimitoskan oleh banyak kalangan. Perubahan-perubahan tersebut hanya merupakan keniscayaan belaka yang sesuai dengan sunnatullah dari perubahan dan dinamika masyarakat.Satu-satunya yang tidak dapat diubah dalam kaitnnya dengan eksistensi bangsa Indonesia adalah Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 yang merupakan causa prima dari adanya negara Republik Indonesia. Tetapi, hal itu pun bila menggunakan Teori Hans Kelsen tak lebih dari initial hypothesis –sesuatu yang harus dihipotesiskan ada dengan sendirinya. Artinya, ya takhayul juga.
Integrasi Bangsa
Bila memahami maksudnya, maka upaya untuk memunculkan “konsensus nasional” adalah untuk menjaga dan mempertahankan integrasi nasional. Akan tetap, cara yang ditempuh masih menggunakan mitos yang sesungguhnya sudah tidak relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyaraka modern. Penggunaan mitos-mitos hanya cocok untuk masyarakat tradisional yang masih terbelakang yang memang membutuhkan faktor-faktor integrasi sosial yang bersifat simbolik dan mitologis.
Di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat dewasa ini integrasi bangsa Indonesia akan lebih ditentukan oleh faktor pengikat yang lebih bersifat realistis dan masuk akal. Faktor-faktor integratif seperti itu diantaranya adalah efektivitas penegakan hukum dan pemerintahan hingga ke pelosok-pelosok, alat komunikasi yang efektif termasuk bahasa Indonesia, kesejahteraan yang merata, serta jangan dilupakan nilai-nilai ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk indonesia.
Faktor-faktor integratif yang realistis dan masuk akal itu akan lebih menyatukan masyarakat dan bangsa Indonesia dengan berbgai takhayul yang tidak masuk akal dan kebenarnnya masih diragukan. Fakta selama ini menunjukkan, bahwa disintegrasi bangsa lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor lemahnya penegakan hukum dan efektivitas pemerintahan, tidak lancarnya komunikasi antar berbgai daerah dan masyarakat, kesenjangan sosial yang lebar dan dipingirkannya aspirasi umat Islam sebagai mayoritas bangsa Indonesia. Karena itu, upaya untuk memunculkan kembali konsensus nasional menjadi tidak realistis dan menarik kembali bangsa Indonesia bererak mundur ke belakang menuju keterbelakangan dan kebodohan serta yang terpenting ke-musyrik-an kolektif. Naudzubillahi min dzalik. (posted by fikreatif)
Source: Majalah Risalah Mujahidin Edisi 12/I/Ramadhan/1428 .

1 Comment:

Anonymous said...

Dgn Kemajemukan Bangsa Ini, & Tanah ini dibayar tdk hny dgn darah 1 ato 2 kaum saja, PANCASILA lha satu2nya Ideology yg mampu mpersatukn Bangsa Ini... Seburuk2nya Bapak Kita, mk lebih buruk lg Anak yg mlupakn Jasa Sang Bapak... Smoga Bmanfaat d dlm Kebenaran yg Hakiki & Universal tanpa batasn2 kulit namun mrasuk hingga pd Daging & Saripatinya...^^

 
ES-TE-EM-JE - Wordpress Themes is powered by WordPress. Theme designed by Web Hosting Geeks and Top WordPress Themes.
por Templates Novo Blogger